Gambar 1. Ilustrasi
Dalam hal ini yang saya lakukan adalah membuka mental block tentang ketakutan. Dengan mendaki gunung sendiri di malam hari, saya mencoba menggali seberapa dalam batas ketakutan dari diri sendiri. Oke lanjut cerita yah, setelah semua peralatan tertata rapi ke dalam tas, saya pun segera berangkat. Jam 21.00, saya berangkat menggunakan motor dari rumah. Memasuki musim penghujan cuaca memang sulit diprediksi, benar saja saat ditengah perjalanan saya diguyur hujan yang cukup deras. Saat itu saya menepi sejenak untuk memakai jas hujan. Setelah memakai jas hujan saya melanjutkan perjalanan kerumah teman terlebih dahulu. Karena lokasinya dekat dengan tempat berhenti, saya menyempatkan untuk bersinggah . Tak membutuhkan waktu yang lama, saya pun sampai dirumah teman. Disini teman saya sudah tidak heran lagi dengan kedatangan saya yang sendiri ingin mendaki gunung. Kopi panas pun disuguhkan tak lama setelah kedatangan, teman saya ini sudah terbiasa menjadi seorang solo tracker maka dari itu ia sudah tidak heran lagi dengan kedatangan saya yang seorang diri, ia hanya menyarankan untuk lebih berhati-hati karena cuaca yang sedang tidak bersahabat.
Mungkin sekitar satu jam hujan mulai reda, saya segera berpamitan, kemudian melanjutkan perjalanan. Jam 23.00, saat itu saya sampai dijalur pendakian, terlihat beberapa tenda telah didirikan diarea camping ground dekat dengan basecamp. Saya mendaftar retribusi masuk dan berbincang-bingcang dengan pendaki lain yang ada disana. Lama kami berbincang saya pun mulai berjalan (pendaki lain yang saya ajak berbincang tersebut hanya camping didekat basecamp bersama istri dan anaknya). Tak terlihat sedikit pun bintang dilangit ketika saya berjalan. Sungguh saat-saat itu cahaya alam dari bulan dan bintang seakan meredup didekap oleh awan hitam yang pekat. Saat itu tidak ada pendaki lain lagi yang melakukan perjalanan ke puncak. Ditengah kegelapan malam, saya berjalan seorang diri. Berjalan diantara pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, saya hanya mengandalkan cahaya dari senter yang telah saya bawa. Perasaan takut, gelisah dan resah mulai bercampur aduk ketika saya melewati semak-semak yang cukup tinggi ditengah jalur pendakian. Semak-semak tersebut seperti membentuk sebuah lorong gelap yang tak terlihat ujungnya. Terkadang mental block itu diperlukan, untuk mencegah imaji liar yang datang dari kegelapan malam yang mencekam itu. Saya mencoba berfikir logis dan realistis agar perjalanan ini berjalan dengan lancar. Saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak tergesa-gesa dalam melangkah. Karena apabila kita tidak berhati-hati dalam melangkah, kita bisa saja jatuh dan cidera (medan jalur pendakian digunung tentunya tidak datar, seperti dilapangan bola). Didalam perjalanan, jika solo tracker cidera, tentunya akan kesulitan meminta pertolongan, hal itu tidak saya inginkan terjadi, jadi saya tetap berhati-hati dalam melangkah dan terus berfikir positif.
Perjalanan berlanjut, suara gemercik air terdengar dari sebuah sungai kecil yang berada dijalur pendakian. Riuh suara hembusan angin berpadu dengan gemercik air membuat kesunyian malam ini semakin menjadi. Dingin ketika kaki saya menyebrangi sungai kecil itu, saya berhenti sejenak untuk mengambil air minum. Ketika botol air terisi penuh, saya segera kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa menit saya berjalan saya sampai disebuah selter kecil yang berada jalur pendakian, sepi? ya, tidak satu orang pun terlihat disini. Tak berlama-lama, saya hanya melewatinya tanpa berhenti. Deg, jantung mulai berdebar kencang ketika melewati tempat ini, saya mencoba untuk tetap tenang. Tetap fokus melihat cahaya senter dan jalur pendakian yang ada didepan. Tak lama kemudian perasaan tersebut mulai berangsur-angsur tenang kembali. Vegetasi mulai terbuka, disini saya melihat langit yang gelap. Berkali-kali kilatan petir terlihat, menandakan hujan akan segera turun kembali. Saat itu saya sedikit lega melewati kebun teh, karena ada tenda yang didirikan disamping kebun teh. Tetapi sayang penghuni tenda tersebut sudah terlelap didalamnya, karena yang terlihat hanyalah sebuah tenda dengan lampu kecil sebagai penerangan didalamnya. Sunyi senyap, hanya dengkuran yang terdengar dari tenda tersebut. Saat saya melihat puncak gunung, terlihat kabut yang tebal disertai kilatan-kilatan petir diatasnya. Tak lama kemudian rintik-rintik air berjatuhan dari langit, saya pun berencana untuk mendirikan camp di area kebun teh. Dibeberapa titik kebun teh ini ada beberapa selter yang digunakan untuk beristirahat dan tempat berlindung para pemetik teh di siang hari (jika malam bisa dimanfaatkan perlindungan oleh para pendaki). Jam 02.00 dini hari saya tiba disebuah selter yang terletak ditengah perkebunan teh. Disini saya bertemu beberapa pendaki lain yang masih begadang sambil menikmati kopi. Saya pun duduk dan membaur bersama mereka. Nah ditempat ini kesunyian malam itu pun juga berakhir ketika saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka.
Mungkin sekian dulu cerita perjalanan saya kali ini. Diperjalanan ini saya mendapat motivasi yang besar untuk lebih kuat menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mengontrol rasa takut yang ada dalam diri (semua manusia normal, wajar jika memiliki rasa takut. Salah satu yang kita bisa kita lakukan adalah mengontrol rasa takut tersebut agar tidak mengganggu dan menghalangi potensi-potensi yang ada dalam diri kita ). Sekian dari saya terimakasih. Salam Lestari.